Fatwa Syeikh al-Syarbashi: Pendapat Maliki Tentang Wudhuk Khatib Salat Jumaat?

Primary tabs

WUDHUK SEORANG KHATIB SALAT JUMAAT

 

Soal: Saya hanya menginginkan jawaban dari mazhab Maliki mengenai persoalan berikut: Seorang imam, bila wudhuknya batal tatkala sedang menyampaikan khutbah Jumaat, apakah dia dapat meneruskan khutbah Jumaatnya tanpa wudhuk? Jika wudhuknya batal pada waktu antara khutbah dan salat, apakah dia dapat meminta orang lain untuk menggantikannya sebagai imam salat Jumaat?

 

Jawab: Dalam menyampaikan khutbah Jumaat, seseorang tidak disya­ratkan mesti  dalam keadaan berwudhuk. Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan mazhab Maliki, walaupun terdapat riwayat dari Imam Malik yang mengharuskan thaharah (dalam keadaan suci) ketika menyampaikan khutbah Jumaat. Dengan berpegang pada pendapat yang masyhur di kalangan mazhab Maliki maka seorang imam dapat menyampaikan khutbah Jumaat dalam ke­adaan tidak mempunyai wudhuk.

 

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang imam yang batal wudhuknya tatkala menyampaikan khutbah Jumaat dapat tetap meneruskan khutbahnya tanpa wudhuk; setelah khutbah, dia mesti segera berwudhuk untuk mengerjakan salat Jumaat.

 

Kalangan mazhab Maliki mensyaratkan bahwa dari khutbah ke salat Jumaat mesti muwalat (bersambung), iaitu tidak boleh disela oleh waktu yang panjang menurut standard umum (`urf). Selang waktu tersebut ditetapkan tidak lebih daripada sekadar waktu untuk mengerjakan dua rakaat salat yang ringan. Mazhab Maliki juga mensyaratkan bahwa yang menjadi khatib Jumaat mesti sekaligus menjadi imam salatnya, kecuali apabila ada uzur.

 

Oleh karena itu, di dalam kitab-kitab fiqh mereka, kalangan mazhab Maliki mengatakan bahwa seorang imam salat Jumaat mestilah memenuhi dua syarat berikut:

Pertama, dia mestilah orang yang mem­punyai kewajiban melaksanakan salat Jumaat. Jika dia seorang musafir, misalnya, dan dia berniat mukim dengan maksud untuk menyam­paikan khutbah Jumaat, maka dia tidak boleh menjadi imam salat­nya.

 

Kedua, dia mestilah orang yang menyampaikan khutbah (khatib). Jika seseorang menyampaikan khutbah Jumaat, lalu kemudian orang lain yang menjadi imam salatnya, maka salat Jumaat tersebut tidak sah. Tetapi, apabila khatib mempunyai uzur yang dapat diterima, seperti terserang penyakit keluar darah dari hidung, buang angin (kentut), atau wudhuknya batal karena sebab yang lain, maka dia boleh meminta orang lain untuk menggantikannya mengimami salat Jumaat tersebut. Ini apabila uzurnya tersebut tidak hilang dalam waktu yang dekat, iaitu seukuran waktu me­ngerjakan dua rakaat salat, di mana pada setiap rakaatnya dibaca surah al-Fatihah dan satu surah lain. Jika uzurnya akan hilang dalam waktu yang dekat maka dia hendaklah menunggu hingga uzur itu hilang, kemudian mengerjakan salat Jumaat bersama yang lain.

 

Dari semua keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa seorang imam dapat meneruskan khutbahnya tanpa wudhuk. Bahkan, dia boleh menyampaikan khutbah tanpa berwudhuk sejak awal. Kita juga mengetahui bahwa orang yang menjadi imam salat Jumaat mestilah orang yang menjadi khatibnya. Tetapi apabila sang khatib mempunyai uzur yang hanya akan hilang dalam waktu yang panjang maka dia dapat meminta orang lain untuk menggantikannya se­bagai imam. Namun jika uzurnya itu dapat dihilangkan dalam waktu yang singkat maka dia harus bersegera menghilangkan uzurnya itu, dan kemudian memimpin salat Jumaat.

 

Perlu diketahui bahwa hukum-hukum yang telah disebutkan di atas terbatas pada pendapat mazhab Maliki. Penjelasan secara rinci tentang masalah ini menurut mazhab-mazhab yang lain me­merlukan pembahasan tersendiri.

 

Wallahu a'lam!

 

Petikan: Yas'alunaka - Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama Dan Kehidupan, Dr Ahmad asy-Syarbashi, Penerbit Lentera