Maulid Nabi dalam Perspektif Sejarah

Primary tabs

Oleh Prof K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.a (Sedutan bukunya: Islam masakini)

Dalam pengajian-pengajian maulid, para muballigh di surau-surau sering mengumandangkan ucapan-ucapan yang diklaim sebagai sabda Nabi saw. Ucapan-ucapan itu adalah,

"Barangsiapa mengagungkan hari kelahiranku, maka kelak ia akan tinggal di surga bersamaku,"

atau 'hadis' lain seperti,

"Barang­siapa mendermakan satu dirham untuk merayakan hari kelahiranku maka tak ubahnya ia mendermakan emas sebesar Gunung Uhud,"

dan lain sebagainya.

'Hadis-hadis' ini dalam kitab-kitab koleksi Hadis yang muktabar (kitab-kitab yang secara ilmiyah dapat dijadikan standar rujukan Hadis) tidak pernah didapati. Apa­kah gerangan para penulis Hadis lupa sehingga tidak mencantumkan 'hadis-hadis' itu dalam kitab-kitab mereka, atau memang 'hadis-hadis' itu tidak pernah ada karena memang Nabi Muhammad s.a.w. tidak pernah bersabda seperti itu?

Seandainya 'hadis-hadis' itu pernah ada karena Nabi Muhammad saw. pernah bersabda demikian, sedangkan para penulis Hadis lupa sehingga tidak mencantumkannya di dalam kitab-kitab mereka, maka paling tidak ada catatan yang me­nunjukkan bahwa para Sahabat Nabi saw., para Tabi'in, dan para Ulama Salaf (Klasik) pernah mengamalkan maksud 'hadis-hadis' tersebut.

Namun ternyata catatan seperti itu juga tidak ada. Bahkan sampai awal abad ke- 7 hijri belum ada catatan yang menunjukkan adanya ulama atau tokoh sejarah yang mengamalkan maksud 'hadis-hadis' tersebut.

Atau dengan kata lain, sampai awal abad ke-7 hijri belum ada seorang pun yang mengamalkan maksud 'hadis-hadis' tersebut, karena memang 'hadis-hadis' tersebut tidak pernah ada dalam sejarah.

Apabila pada masa belakangan 'hadis-hadis' tersebut beredar di kalangan masyarakat, maka dapat dipastikan bahwa hal itu merupakan bikinan orang-orang belakangan, sehingga menurut disiplin Ilmu Hadis, 'hadis-hadis' maulid tersebut disebut sebagai hadis palsu atau hadis maudhu', karena Nabi Muhammad saw., tidak pernah bersabda demikian.

Al-Malik al-Mudhaffar
Syekh Ali Tantawi (w. 1421 H) dalam kitabnya Rijal min al-Tarikh (Tokoh-tokoh Sejarah) menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi saw., adalah al-Malik al-Mudhaffar.

Ia adalah salah seorang panglima perang pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-­Ayyubi. Gelar al-Malik yang disandangnya tidak menunjukkan bahwa ia seorang kepala negara, sebab kepala daerah pada masa itu juga disebut al-malik.

Al-Malik al-Mudhaffar di samping dikenal sebagai panglima perang yang gagah berani juga dikenal sebagai pemimpin yang adil dan dermawan.

Sampai al-Qadhi Ibnu Khallikan yang hidup semasa dengannya merasa kagum dengan sifat keder­mawanannya itu. Hal itu karena al-Malik al-Mudhaffar tidak hanya membantu orang-orang miskin, mendirikan rumah sakit-rumah sakit dan penginapan-penginapan gratis, melainkan ia tercatat sebagai orang pertama yang menyediakan air yang berlimpah-ruah pada malam Wukuf di Arafah, padahal pada malam itu semua orang yang sedang menunaikan ibadah haji kesulitan memperoleh air.

Festival Maulid
Sejarawan terkemuka al-Qadhi Ibnu Khallikan menuturkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh al-Malik al­Mudhaffar pada saat itu bukanlah merupakan acara keagamaan seperti layaknya sebuah majelis ta'lim, atau pengajian dan sebagainya. Tetapi lebih tepat disebut sebagai pasar malam, pesta maulid, atau festival maulid.

Kota Irbil di Irak pada saat itu pe­nuh dibanjiri manusia. Mereka datang dari berbagai penjuru kota dan daerah-daerah sekitarnya seraya membawa barang-­barang dagangan dan hasil kerajinannya. Tenda-tenda juga dipasang di sana-sini, dihiasi bendera umbul-umbul dan lam­pu-lampu berwarna-warni. Perayaan ini dimulai pada bulan Shafar. Dan sejak saat itu sekolah-sekolah diliburkan. Para artis baik penyanyi, pemain drama dan lain-lain juga tidak ketinggalan setiap malam ikut ambil bagian untuk menam­pilkan kebolehannya. Sementara al-Malik al-Mudhaffar tiap malam berkeliling ke arena-arena pertunjukan sambil mem­bagi-bagikan hadiah.

Puncak acara perayaan maulid itu diadakan pada tanggal delapan atau dua belas Rabiulawal. Pertama kali, ribuan binatang ternak, terdiri dari domba, sapi dan onta diarak keliling arena, diiringi bunyi-bunyian genderang, rebana, terompet dan sebagainya, marching band, kalau zaman sekarang.

Sementara orang-orang mengikutinya dari belakang sambil mengibarkan bendera-bendera warna-warni. Sebagian ada yang meniup seruling. Ribuan binatang ternak itu selanjutnya disembelih untuk konsumsi 'perayaan maulid'.

Sesudah sembahyang Isya, al-Malik al-Mudhaffar keluar dari Istana dengan membawa lilin besar. Kemudian diikuti oleh orang-orang banyak, dan semuanya membawa obor. Mereka berjalan berarak-arakan menuju tempat yang biasa dipakai berkhalwat oleh orang-orang sufi.

Esok harinya, al-Malik al-Mudhaffar duduk di panggung kehormatan yang berada di pinggir alun-alun, bersama para pejabat pemerintahan lainnya. Acara perayaan dimulai dengan parade militer. Lalu disusul oleh jamaah orang-orang sufi dan para penyair. Kemudian disusul oleh rombongan pelajar. Dan yang paling belakang adalah rakyat biasa.

Setelah semuanya berkumpul di alun-alun, para ahli pidato tampil satu persatu untuk menunjukkan kebolehannya dalam berpidato. Setelah mereka selesai, kini para penyair satu-persatu membacakan puisi. Sementara al-Malik al-Mudhaffar sudah menyiapkan hadiah-hadiah menarik untuk mereka. Sesudah penampilan­-penampilan itu selesai, acara ditutup dengan makan bersama.

Untuk mengabadikan peristiwa itu, al-Hafidh Ibnu Dihyah menulis buku tentang perayaan maulid, dan buku itu me­rupakan buku yang pertama kali membahas perayaan maulid. Dan itulah tadi peringatan atau perayaan Maulid Nabi yang diadakan pertama kali dalam sejarah. Sedang si empunya ambisi, al-Malik al-Mudhaffar tadi, wafat pada malam Rabu, 18 Ramadhan 630 H.

Kontroversial
Sampai saat ini para ulama masih berbeda pendapat tentang hukum merayakan maulid Nabi saw. Mufti Besar Kerajaan Saudi Arabia, Syeikh Abdul Aziz bin Baz (w. 1421 H) berpen­dapat bahwa mengadakan perayaan maulid Nabi saw., itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw., maupun para Sahabat beliau, begitu pula para Tabi'in dan para Ulama Salaf. Mem­peringati hari kelahiran Nabi saw., termasuk perbuatan mengada-ada dalam agama, atau menurut istilah yang populer adalah bid'ah. Karena itu hukumnya juga haram.

Sementara ulama lain seperti Syekh Ali Tantawi yang disebut di muka tadi itu, dan juga menjadi pengasuh acara Nur wa Hidayah dalam Televisi Saudi Arabia, begitu pula Syekh Dr. Ahmad al-Syurbashi dalam kitabnya Yas'alunaka fi al-Din wa al-Hayah berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi saw., itu perlu dilihat isinya. Apabila peringatan itu diisi dengan pengajian agama, penerangan tentang sejarah kehidupan Nabi saw., agar ditiru oleh umatnya, maka hal itu perlu dikerjakan. Sebab acara seperti itu pada hakikatnya adalah pekerjaan ma'ruf yang perlu dilakukan setiap saat.

Namun apabila peringatan Maulid Nabi saw., itu diisi dengan acara-acara mak­siat, pemborosan, kemungkaran dan lain sebagainya, maka ­kedua tokoh tadi sependapat bahwa hal itu hukumnya tidak boleh atau haram.

Namun yang perlu dicatat di sini bahwa dalam hal peringatan maulid Nabi saw., itu dibolehkan, para ulama tidak berbeda pendapat bahwa penggunaan 'hadis-hadis maulid' seperti yang disebutkan di depan itu hukumnya tidak boleh. Sebab menggunakan, menyebutkan atau menyampaikan 'hadis-hadis' tersebut berarti menisbahkan ucapan-ucapan kepada Nabi Muhammad saw, sementara beliau tidak pernah bersabda seperti itu. Perbuatan seperti inilah yang antara lain diancam oleh Nabi saw sendiri dalam sabdanya,

Barangsiapa dengan sengaja mendustakan saya, maka hendaknya ia siap-siap duduk di atas bara api neraka.