Hukum Sandiwara

Primary tabs

Oleh Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

 

Sandiwara, saya katakan tidak boleh karena:

Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir, mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang(tertawa). Di dalamnya mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh Allah Taala, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata,Telah bersabda Rasulullah,

Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. tentang hartanya darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. tentang badannya untuk apa dia kerahkan. [1]

Umumnya sandiwara itu dusta. Bisa jadi memberi pengaruh bagi orang yang hadir dan menyaksikan atau memikat perhatian mereka atau bahkan membuat mereka tertawa. Itu bagian dari cerita-cerita khayalan. Sungguh telah ada ancaman dari Rasulullah bagi orang yang berdusta untuk menertawakan manusia dengan ancaman yang keras. Yakni dari Muawiyah bin Haidah bahwasanya Rasulullah bersabda,

Celaka bagi orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia.[2]

Mengiringi hadits ini Syaikh Islam berkata,Dan sungguh Ibnu Masud berkata,

Sesungguhnya dusta itu tidak benar baik sungguh-sungguh maupun bercanda.

Adapun apabila dusta itu menimbulkan permusuhan atas kaum muslimin dan membahayakan atas dien tentu lebih keras lagi larangannya. Bagaimanapun pelakunya yang menertawakan suatu kaum dengan kedustaan berhak mendapat hukuman secara syari yang bisa menghalangi dari perbuatannya itu.[3]

Tentang cerita-cerita, sungguh ulama salaf membenci cerita-cerita dan majelis-majelis cerita. Mereka memperingatkan segala peringatan dan memerangi para narator (pencerita) dengan berbagai sarana. Ibnu Abi Ashim meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ali melihat seseorang bercerita, maka dia berkata, Apakah engkau tahu tentang naskh(ayat yang menghapus) dan mansukh(yang dihapus) ? Maka dia (pencerita itu) menjawab,Tidak. Ali berkata,Binasa engkau dan engkau telah membinasakan mereka.[4]

Imam Malik berkata, Sungguh saya benci cerita-cerita di masjid. Saya memandang berbahaya ikut bermajelis dengan mereka. Sesungguhnya cerita-cerita itu bidah. Imam Ahmad berkata,Manusia yang paling dusta adalah para narator dan orang yang paling banyak bertanya (dengan pertanyaan yang tidak ada faedahnya). Kemudian ditanyakan padanya (Imam Ahmad),Apakah Anda menghadiri majelis mereka ? Dia menjawab, Tidak.[5]

Kedua: Individu-individu yang ditiru, kadang-kadang berasal dari tokoh Islam, seperti sahabat. Hal ini dianggap sebagai sikap meremehkan mereka[6] , baik si pemain merasa atau tidak. Contoh: anak kecil atau seseorang yang sangat tidak pantas, menirukan ulama atau sahabat. Ini tidak boleh. Kalau ada seseorang datang menirukan kamu, berjalan seperti jalanmu, apakah engkau ridha dengan hal ini? Bukankah sikap ini digolongkan sebagai sikap merendahkan terhadap kamu? Walaupun orang yang meniru tersebut bermaksud baik menurut sangkaannya. Tetapi setiap individu tidak akan rela terhadap seseorang yang merendahkan dirinya.

Ketiga: Yang ini sangat berbahaya, sebagian mereka menirukan pribadi kafir seperti Abu Jahal atau Firaun dan selain mereka. Dia berbicara dengan pembicaraan yang kufur yang menurut dugaannya dia hendak membantah kekufurannya, atau ingin menjelaskan bagaimana keadaan jahiliyah. Ini adalah tasyabuh (meniru). Rasulullah melarang tasyabuh dengan orang-orang musyrik dan kufur [7] baik meniru (menyerupai) kepribadian maupun perkataannya. Dakwah dengan cara ini dilarang karena tidak ada petunjuk Rasulullah serta bukan dari salafu ash shalih maupun petunjuk kaum muslimin. Model-model sandiwara ini tidak dikenal kecuali dari luar Islam. Masuk kepada kita dengan nama dakwah Islam, dan dianggap sebagai sarana-sarana dakwah. Ini tidak benar karena sarana dakwah adalah tauqifiyah(ittiba). Cukup dengan yang dibawa Rasulullah dan tidak butuh jalan seperti ini. Bahwasanya dakwah akan tetap menang dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Tanpa adanya model-model sandiwara ini. Tatkala cara ini (sandiwara) datang tidaklah menampakkan kebaikan kepada manusia sedikitpun, dan tidak bisa mempengaruhinya. Hal itu menunjukkan bahwa cara ini (sandiwara) adalah perkara negatif dan tidak ada faedahnya sedikitpun. Bahkan di dalamnya terdapat hal-hal yang membahayakan.

Lalu jika ada orang yang berkata,Sesungguhnya Malaikat itu menyerupai bentuk anak Adam.(maksudnya bersandiwara kepada manusia-ed)

Kami jawab, Malaikat-malaikat itu datang dalam bentuk anak Adam, karena manusia tidak mampu melihat dalam bentuknya yang asli. Ini merupakan kebaikan bagi manusia. Sebab jika malaikat datang dengan bentuk mereka yang sebenarnya, maka manusia tidak akan mampu berbicara dengan mereka dan tidak bisa melihat kepada mereka. Para malaikat tatkala menyerupai bentuk manusia tidak bermaksud bermain sandiwara sebagaimana yang mereka inginkan. Malaikat itu menyerupai manusia dalam rangka memperbaiki. Karena malaikat mempunyai bentuk sendiri yang berbeda dari manusia. Adapun manusia maka bagaimana bentuk seseorang itu berubah kepada bentuk manusia yang lain. Apa yang mendorong kepada perubahan ini?

Kemudian ada beberapa tambahan keterangan yang diambil dari berbagai sumber:

Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam kitabnya At-Tamtsil,Keberadaan sandiwara awalnya adalah bentuk peribadahan non-Islam. Sebagian ahlu ilmi menguatkan, bahwa inti sandiwara itu adalah bagian dari syiar-syiar peribadahan penyembah berhala di Yunani.(Hal 18) sandiwara itu tak ada hubungannya dengan sejarah kaum muslimin pada generasi yang pertama(utama). Kedatangannya tak disangka-sangka pada masa sedikitnya orang yang berilmu, yakni pada abad 14H. Kemudian disambut dengan mendirikan rumah-rumah hiburan dan gedung-gedung sandiwara, serta merta berpindahlah dari tempat-tempat peribadahan kaum Nashara kepada sekelompok pelaku sandiwara Islami di sekolah-sekolah daripada sebagian jamaah Islam.

Apabila hal ini telah dimaklumi, maka ketahuilah bahwa kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam yang mengangkat ahlinya kepada derajat mulia dan sempurna tentu menuntut penolakan dengan cara itu. Sebagaimana diketahui, bahwa suatu amal mungkin termasuk sebagai ibadah, atau bisa jadi termasuk sebagai adat. Maka asal ibadah, tidaklah disyariatkan kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan asal adat adalah tidak dilarang kecuali apa yang telah Allah larang. Oleh karena itu sandiwara Islami itu tidak boleh diadakan sebagai jalan ibadah, atau pun sebagai bagian dari kebiasaan atau adat yang mengandung unsur permainan dan hiburan.

Sandiwara Islami tidak ditetapkan dalam syariat, dia jalan yang baru. Sebagian dari keseluruhan ajaran Islam adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah,Barangsiapa yang membikin perkara-perkara baru dalam urusan kami(Islam), yang perkara itu buka dari Islam maka tertolak. Karena itu, apa yang telah dilihat pada beberapa sekolahan atau kampus-kampus, yakni adanya permainan sandiwara Islami maka sesungguhnya itu adalah sandiwara bidah, karena telah diketahui asalnya. amalan tersebut bagi kaum muslimin adalah perkara yang keluar dari daerah yang ditentukan berdasarkan dalil syari. Karena amalan tersebut merupakan peribadahan penyembah berhala dari Yunani dan ahlu bidah Nashara, maka tak ada dasarnya dalam Islam secara mutlak. Jadi amalan itu adalah perkara baru dalam islam dan setiap perkara baru dalam Islam adalah bidah yang menyerupai syariah. Nama yang pas untuk istilah itu berdasar syariat Islam adalah Sandiwara Bidah.

Apabila sandiwara ini dimasukkan sebagai adat, maka hal itu menyerupai musuh-musuh Allah (kafir). Sedangkan kita telah dilarang menyerupai mereka. Sementara perkara itu tidak dikenal kecuali dari mereka.

Jika ada orang yang berkata,Sesungguhnya sarana-sarana berdakwah merupakan bagian dari mashalihul Mursalah. Kami jawab,Apakah syariah meremehkan segala kebaikan bagi hamba-hambanya?

Jawabannya terdapat dalam keterangan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, sebagai berikut,Secara singkat bahwa syariah tidak meremehkan kebaikan (maslahah) sama sekali, bahkan Allah Taala telah menyempurnakan dien nikmatNya bagi kita. Jadi tidak ada yang mendekatkan diri ke surga kecuali kita telah diperintahkan beliau untuk mengerjakannya. Beliau telah meninggalkan kita di atas lembaran yang putih bersih. Malamnya seprti siangnya, tidak menyimpang daripadanya melainkan orang yang binasa.[8]

Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi berkata, Apabila sejumlah besar dari berbagai kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertaubat kepada al-haq dengan jalan yang syari dan memang harus demikian. Maka mengapa seorang dai mencari jalan yang tidak terdapat di dalam syara ? Lagipula bahwa sesungguhnya apa yang terdapat dalam syara sungguh telah mencukupi untuk memperoleh tujuan dakwah kepada Allah. Yakni menjadikan ahlu maksiat bertaubat dan orang-orang yang tersesat mendapat petunjuk. Hendaklah para dai melapangkan dirinya tatkala berdakwah kepada Allah dengan sarana yang para sahabat melapangkan diri mereka di atasnya. Sesungguhnya mereka kembali menuju kepada ilmu. Ibnu Masud berkata,Sesungguhnya kalian akan menciptakan perkara yang baru dan akan diciptakan perkara baru untuk kalian, Maka, apabila kalian melihat perkara yang baru, wajib atas kalian berpegang dengan perkara yang pertama (Rasulullah dan para sahabat). Ibnu Masud berkata pula,Hati-hati kalian terhadap bidah, hati-hati kalian terhadap berlebih-lebihan, hati-hati kalian terhadap berdalam-dalaman dan wajib kalian berpegang teguh dengan generasi yang dahulu.[9]

Syaikh Abdussalam berkata,Sesungguhnya menentukan kebaikan dalam suatu perkara adalah sulit sekali. Kadang-kadang seorang pengamat menyengka bahwa ini adalah maslahah, padahal ini, sesungguhnya yang berkuasa menentukan kemaslahatan adalah ahlu ilmi. Merekalah yang dipenuhi keadilan dan bashirah, yang senantiasa mewujudkan hukum-hukum syariah serta kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu suatu masalah butuh sikap hati-hati yang besar dan sangat waspada dari penguasaan hawa nafsu jika menghendaki sesuatu yang baik. Hawa nafsu sering menghiasi sesuatu yang rusak menjadi tampak baik, sehingga banyak orang tertipu. Padahal bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Lalu bagaimana para muqallid(orang yang taklid) itu bisa dikuasai dengan persangkaan kemudian menentukan bahwa ini adalah maslahah ? Bukankah ini merupakan sikap lancang terhadap dien dan sikap nakal terhadap hukum syari dengan tanpa keyakinan ?

[1]Dikeluarkan Imam At Tirmidzi (2417) dan dia menshahihkannya.

[2]Hadits hasan dikeluarkan oleh Hakim(I/46), Ahmad(V/35) dan At-Tirmidzi(2315).

[3]Majmu Fatawa(32/256).

[4]Al-Mudzakir wa at-Tadzkir (hal 82).

[5]Al-Bida wa al-Hawadits karya At-Turrusyi hal 109-112.

[6] Telah datang hadits shahih yang mencela orang yang menirukan gerakan seseorang, dan larangan dari yang demikian itu, dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda, Sungguh saya tidak suka menirukan seseorang dan sungguh bagi saya seperti ini dan seperti ini. Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/136-206), At-Tirmidzi(2501).

[7] Hadits yang melarang menyerupai orang-orang musyrik dan kafir telah tersebar, diantaranya sabda Rasulullah, Selisihilah orang-orang Yahudi dan Nashara..[Taqrib Ibnu Hibban(2186)], Berbedalah dengan orang-orang musyrik... [Muslim(259)], Berbedalah dengan orang-orang Majusi.. [Muslim(260)].

[8]Hujatu al-Qawiyyah Ala Anna Wasaila ad-Dawah Tauqifiyyah, karya Abdussalam bin Barjas hal 40.

[9]Hujaj al-Qawiyyah karya Syaikh Abdussalam bin Barjas hal 43.

 

http://www.salafyoon.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=146